Senin, 22 Oktober 2007

Kalbar Dalam Bingkai Jurnalistik (Bagian 10)

SEBUAH CATATAN KERAS UNTUK PEDESAAN KALBAR

Ketika kami bertemu dengan para kepala desa yang lebih dikenal sebagai pamong desa terdapat banyak catatan yang boleh dibilang keras. Karena warga mereka selain hidup hanya semata atas berkah alam, juga masih tertinggal jauh dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia yang pernah kami kunjungi.

Memang ada seribu lima ratus lebih desa di Kalbar, tak semuanya jelak. Ada juga yang bagus. Tetapi mayoritas pedesaan Kalbar masih tertinggal jauh. Kami datang ke desa Wajo yang tak jauh dari Pontianak saja, jalannya belum bisa dilalui kendaraan roda empat. Apalagi desa diujung sungai Landak, mereka hanya memiliki jalan setapak. Antara satu desa dengan desa lainnya hanya bisa dilalui dengan sepeda motor. Kadang kala mereka berjalan kaki dalam puluhan kilo meter. Dan belum ada SD Negeri di sana.

Lebih parah lagi, kondisi kecamatan Kubu. Walaupun itu merupakan ibukota kecamatan, tetapi jalannya hanya bisa dilalui sepeda motor saja. Sama hal kondisinya ketika 20 tahun silam seperti cerita penyanyi kondang Eddy Silitonga kepada kami baru-baru ini.

Yang lebih parah lagi adalah soal air bersih. Pernah suatu ketika penyanyi ibukota terpaksa membeli 5 botol besar air mineral untuk mandi. Ia sengaja mandi di depan orang-orang desa itu sekedar tanda protesnya bahwa kalian perlu mandi dengan air bersih.

Berkenaan dengan air bersih, belum lama ini kami punya cerita menarik. Kami bermalam di sebuah desa di tepian sungai. Tentu saja kami harus menumpang rumah penduduk untuk mandi dan menggosok gigi, karena di desa itu tidak ada hotel. Satu dua tiga teman kami, terus mandi bergantian. Yang sudah mandi mengejak teman kami yang belum mandi. Akhirnya teman kami yang terakhir pun mandi juga.

Hanya saja aneh, teman kami yang terakhir mandi, ia bercerita bahwa di bak mandi yang tadi kami pakai untuk mandi terdapat banyak bulu ayam. Lalu kami pun penasaran. Dan kami ingin tau dari mana penduduk setempat mencari sumber airnya yang masuk ke bak mandi tadi.

Aduh mak, ternyata air yang disedot ke bak mandi melalui mesin pompa air tadi adalah air sungai di bawah rumah itu. Di samping cerobong mesin pimpa pun, dua pemuda sedang membersihkan ayam untuk santapan lezat kami siang itu. Padahal ketika kami buang air besar juga mengalir langsung ke tempat itu. Apa yang terdapat di permukaan sungai itu, tidak usah kami tulis disinilah. Bisa dibayangkan reaksi teman-teman kami yang sudah mandi dan menyatakan dirinya sudah bersih dan harum tadi. Ternyata rumah yang lainnya pun melakukan hal yang sama.

Pembangunan desa menurut APDSI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) membutuhkan sedikitnya Rp 500 juga setahun per desa. Idealnya menurut mereka, setiap desa dibangun dengan anggaran Rp 1 milyar setahun. Artinya jika kita ingin membangun desa se Kalbar, sedikitnya membutuhkan biaya Rp 1,5 triliyun setahun. Mana mungkin, jika APBD Kalbar hanya Rp 1,1 triliyun setahun. Makanya Oesman Sapta dan Igntaius Lyong akan memperjuangkan APBD Kalbar minimal Rp 5 triliyun., tentunya secara bertahap. Hanya dengan angka segitu, Kalbar baru bisa membangun.

Kami melihat tidak ada komunikasi yang baik antara pemda Kalbar dengan pamong desa saat ini. Sementara itu, pamong desa tidak punya keberanian untuk mendesak atasannya untuk memperjuangkan desanya. Malah kami berani mengatakan, seharusnya pajabat pemda turun ke desa jangan dalam keadaan resmi. Sekali-sekali jadilah turis berkunjung ke desa, agar bisa melihat kehidupan desa apa adanya, tanpa dikawal oleh aparat yang kadangkala sering merekayasa keadaan agar tidak dimarahi atasannya.

Padahal, menurut catatan dunia perbankan di Jakarta, desa adalah lumbung ekonomi tidak hanya Kalbar tetapi Indonesia. Ketika resesi ekonomi melanda Indonesia tahun 80-an, yang paling bertahan adalah sektor ekonomi pedesaan.

Bank BRI yang paling banyak mengusurkan kredit ke sektor ekonomi pedesaan, mencatat angka terendah kredit macet, kendati krisis ekonomi melanda hampir seluruh wilayah Indonesia. Maka kemudian BRI gencar melaksanakan kredit mikro untuk ekonomi rakyat kecil, termasuk pedesaan. Mengapa pedesaan Kalbar tidak berbuat sama dengan desa lainnya di Indonesia. Bukankah bank-bank kita bisa membantu? Kami yakin hanya soal bagaimana mengkomunikasikannya. (Safari ANS/MCO).

Tidak ada komentar: