Jumat, 19 Oktober 2007

Kalbar Dalam Bingkai Jurnalistik (Bagian 3)

BERKONGSI DENGAN KEKUATAN GLOBAL


Dunia sudah disebut global. Beberapa nama perusahaan kelas dunia sudah merubah namanya dengan embel-embel global. Ada global finance, ada world wide services, ada global sindikasi dan segala macam dunia global. Kalbar pun disorot dalam memainkan kartu global. Paling tidak dunia global berharap Kalbar menjadi paru-patu umat manusia di abad modern.

Kami tidak habis pikir, mengapa rakyat Kalbar dalam posisi sekarang. Tertinggal dan miskin dibandingkan dengan saudaranya di wilayah lain. Semestinya APBD Kalbar berkolaborasi antara Rp 3 sampai 5 trilyun setahun. Itu pun belum cukup, jika dunia global bersepakat untuk mengamankan paru-paru dunia ini.

Membangun Kalbar yang ideal untuk mengejar ketertinggalannya, sedikitnya membutuhkan anggaran Rp 10 trilyun setahun. Yang menjadi soal, darimana uang tersebut bisa diraih. Tak ada seorang pun bisa menjamin kalau anggaran sebesar itu bisa diraih. Sehebat-hebatnya lobi seorang pemimpin kelak di Kalbar, menurut prediksi kami, hanya berkisar antara Rp 3 sampai 5 trilyun setahun. Dan itu pun akan didapat secara bertahap. Karena tidak pernah kebijakan pemerintah pusat menaikkan anggaran suatu daerah secara drastis. Kalau pun ada, sebuah pengecualian, karena adanya bencana alam dan sebagainya.

Dalam perjalanan merekam detak dan relung kehidupan masyarakat Kalbar bersama Oesman Sapta, banyak kami dengar teriakan nyaring, bahwa rakyat Kalbar minta tolong. Walaupun hampir tidak ada pengemis jalanan seperti di Jakarta, tetapi derita hidup dengan masa depan yang antipati, terekam amat jelas. Ialah sebuah takdir ketidak-berdayaan menahan hidup dalam arus globalisasi.

Mengapa? Karena ummat manusia di planet bumi ini sudah kekurangan tanah, sementara Kalbar banyak tanah yang nganggur. Di dunia sudah kekurangan hutan, di Kalbar masih banyak hutan. Ketika dunia global merasa risi dengan berkurangnya cadangan minyak bumi di planet ini, Kalbar dan Kalimantan secara keseluruhan menjadi lirikan dunia. Karena Kalbar dan Kalimantan dapat memberikan alternatif bahan bakar dengan kelapa sawitnya. Hanya saja, perkebunan kelapa sawit yang luasnya jutaan hektar, bukan milik rakyat Kalbar.

Dan itu berpengaruh terhadap perputaran uang di Kalbar. Catatlah berapa besarnya eskpor palm oil dari Kalbar. Betapa besarnya ekspor hasil hutan Kalbar, tetapi mengapa kemakmuran rakyat juga tak terjamah. Karena usaha-usaha tersebut bukan milik rakyat Kalbar, tetapi milik orang asing, milik pengusaha Jakarta dan milik orang Malaysia.

Akibat rakyat Kalbar bukan pemilik usaha yang ada di Kalbar, maka ketika terjadi penjualan hasil produksi, maka disitulah akan terasa. Bahwa uang hasil penjualan hanya terparkir di Jakarta, di Malaysia atau di Singapura. Paling banter, sang empunya perusahaan hanya akan menghirimkan uang ke Kalbar untuk membiayai biaya produksi dan biaya gaji karyawan. Dan itu pun kecil, tak sampai 20 persen dari total hasil penjualan. Itulah sebabnya, kendati produk yang dihasilkan oleh Kalbar tinggi, tetapi putaran uang di Kalbar tetap kecil.

Padahal, cara berpikir menteri keuangan di Jakarta, besar kecilnya putaran uang di suatu daerah akan menjadi indikator apakah daerah tersebut dapat berkembang secara baik menurut hukun accounting, apa tidak. Perputaran uang tinggi menjadi indikator roda ekonomi berjalan wajar.

Semua ini terjadi, karena sang pemimpin Kalbar belum memiliki konsep dasar tentang kesejahteraan rakyat Kalbar. Yang ada hanyalah jiplakan konsep yang menjadi ketentuan dan aturan main yang sudah tercipta puluhan tahun di Indonesia.

Padahal roh dan jiwa otonomi daerah, sejak semula dimaksudkan agar daerah dapat dan mampu mendesain dirinya sebagai daerah yang memiliki konsep dan desain pembangunan valid untuk rakyatnya.

Ada sebuah kelakar yang patut ditiru oleh penentu kebijakan Kalbar, bahwa desain pembangunan sebuah kabupaten dan kota, harus didesain setara provinsi agar dia mampu mengangkat perubahan mendasar. Akan tetapi, sebuah provinsi harus didesain setara desain sebuah negara dalam tataran ekonomi agar dia mampu bergerak secara sistematis.

Terlepas dari semua itu, pemda Kalbar memang tidak akan mampu bergerak sendiri tanpa rakyatnya berdaya. Sementara rakyat pun hanya berdaya kalau ada sistem yang mampu memberdayakannya. Karena itu ketika konsep Kalbar Incorporations kami gulirkan, beberapa orang memberikan respon langsung. Bahwa konsep itu sebagai sebuah terobosan, ditengah ketidak-berdayaan rakyat Kalbar menghadapi dunia global tadi.

Bukankah ada pepatah kuno mengatakan, bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Itulah dasar pemikiran Kalbar Inc. Dasar konsep ini pun direkam dari dialog antara Bung Karno dengan Moh Hatta, kala mereka sedang mendesain sistem ekonomi macam apa yang cocok dengan Indonesia.

Bung Hatta sudah mantap dengan sistem koperasinya. Tetapi sistem ini catat, karena koperasi di era dulu telah menjadi alat politik semata. Dan kini tidak berkembang secara baik. Bung Karno ketika membaca betapa dunia gagal dengan konsep sosialisnya. Dan dunia juga gagal mensejahterakan rakyat, ketika menerapkan sistem kapitalis. Kala itu Bung Karno memantapkan hati untuk menerapkan sistem diantara dua sistem dunia tadi. Ialah konsep sosioekonomi.

Dalam dokumen yang lain, Bung Karno pernah merintahkan Kabinet Djuanda untuk menyusun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bukan Badan Usaha Milik Pemerintah (BUMP) seperti banyak dikenal di negera-negara eropa.

Pemikiran mereka ketika itu, kalau BUMP hanyalah milik pemerintah, tetapi kalau BUMN menjadi juga milik rakyat. Dengan asumsi, rakyat juga memiliki saham dalam BUMN di mana BUMN tersebut ada atau dimana BUMN tersebut beroperasi. Hanya saja instrument bisnisnya tidak ada. Rakyat tidak memiliki instrument bisnis untuk mengklaim saham di BUMN, kecuali melalui bursa saham. Sedangkan bursa saham, adalah instrument yang hanya bisa dipakai oleh pemilik modal.

Instrument itu hanya berlaku jika rakyat berkolaborasi diri dalam sebuah kekuatan raksasa bisnis juga. Namanya Kalbar Inc. (Safari ANS/MCO).

Tidak ada komentar: