Jumat, 19 Oktober 2007

Kalbar Dalam Bingkai Jurnalistik (Bagian 5)

BERITA KALBAR DARI HONG KONG

Banyak rakyat Kalbar yang mondar-mandir ke wilayah Taiwan, Hong Kong dan China. Warga Tionghoa Kalbar bahkan banyak yang sudah mantu dengan warganegara ketiga negara itu. Kesamaan budaya dan agama telah membuat mereka akrab dan saling membutuhkan. Hanya saja belum ada sentuhan berarti untuk memanfaatkan akses mereka bagi pembangunan Kalbar.

Kendati Presiden China Hu Jintao, akhir Agustus silam baru saja memecat menteri keuangnnya, Jin Renqing. Karena diduga terlibat skandar seks, namun ia berhasil mencatat rekor menaikkan cadangan devisa negara China hingga USD 1,3 trilyun. Nilai itu hampir setara dengan Rp 12.000 triliyun.

Padahal, negara kita saat ini hanya memiliki cadangan devisi USD 51 milyar atau setara Rp 459 trilyun saja. Itu berarti negara kita masih jauh di bawah Malaysia dan Singapura. Cadangan devisa bisa menjadi indikator kuat tidaknya sebuah negara untuk bertransaksi secara internasional. Dengan kecilnya cadangan devisa negara kita, kita sering diremahkan dalam transaksi internasional.

Misalnya, Hong Kong yang merupakan bagian dari China, pihak perbankannya bisa bertransaksi dalam jumlah besar. Umpamanya untuk membayar minyak satu kapal tengker minyak seharga USD 1 milyar. Di negara Singapura dan Hong Kong hal tersebut sudah menjadi hal biasa. Di negara kita yang bisa bertransaksi seperti itu hanya Bank Indonesia. Bank-bank komersial kita belum diberi kewenangan itu. Bank-bank kita paling banter hanya diberi batas maksimal hingga USD 25 juta saja.

Hal itu pulalah mengapa Bank Indonesia kemudian mengambil alih transaksi Pertamina dan Medco Group. Karena kedua perusahaan raksasa minyak ini harus bertransaksi dalam jumlah milyar dollar Amerika Serikat tadi.

Semuanya ini, telah menempatkan negara untuk tidak dapat memiliki undang-undang offshore banking dan undang-undang offshore financing, seperti yang dimiliki oleh negara-negara tetangga Malaysia, Singapura dan Hong Kong. Hal ini tentu saja berdampak dengan pembangunan kita pada umumnya, dimana dunia investasi sulit masuk ke Indonesia.

Tak hanya itu, ketika Kalbar mempromsikan daerahnya ke berbagai negara, tetapi tidak diimbangi dengan kebijakan one gate, hanya akan menjadi acara serimonial belaka. Maka diperlukan pranata ekonomi yang sistematis. Bisa kita bayangkan bagaimana China memajukan daerah Shen Chen yang saat ini mampu menjadi daerah pendukung Hong Kong. Seorang pengusaha apabila datang ke daerah itu untuk investasi, sang investor hanya perlu datang ke satu orang lembaga dan bisa diselesaikan dalam satu hari. Selebihnya, mulai dari izin sampai kepada mitra lokal yang sudah terseleksi secara baik tersedia, telah tersedia.

Tak ada biaya itu dan ini. Tak ada potongan itu dan ini. Mereka telah menempatkan sang investor bak raja baru. Apa yang diinginkan oleh sang raja, pemerintah China dengan leluasa akan memberikannya. Bahkan Thailand akan memberikan status kewarganegaraan bagi sang investor yang membawa uang sedikitnya setara Rp 10 milyar ke negara itu. Kalau kita tidak demikian.

Sang investor yang masuk ke kita, harus berpikir tujuh kali. Apalagi di era banyak pilkada seperti sekarang ini. Kalbar pun tak luput dari tabiat jelek ini, sehingga kalau pun ada investor yang mau masuk, maka itu sebuah kerja keras yang amat sangat.

Padahal di dunia global sekarang ini, tidak diperlukan hal yang sulit. Pemda sebagai regulator kebijakan harus cerdas berbenah dengan memanfaatkan fungsi otonomi daerah. Bukankah pusat telah berjanji untuk memberikan peluang itu.

Para petinggi International Fund for Indonesia Development (IFID) yang berbasis di Hong Kong menempatkan Kalbar sebagai daerah yang layak untuk dilirik, apabila ada aturan main yang tidak memusingkan. IFID dapat saja men-support konsep Kalbar Inc apabila konsep ini telah menjadi konsensus masyarakat Kalbar. Para petinggi IFID, yang juga berkantor di Dan Hag Belanda menyenangi konsep Kalbar Inc. Konsep ini dianggap layak untuk memberdayakan rakyat secara langsung di Kalbar.

Malah petinggi IFID ini melihat, jika konsep Kalbar Inc berhasil, mereka meminta pemerintah Indonesia menerapkan juga didaerah lainnya seperti Jakarta Inc, Banten Inc dan sebagainya. Apalagi daerah konflik yang notabene-nya sebagai refleksi kekecewaan rakyat terhadap belenggu ekonomi yang semakin hari semakin berat dan menyesakkan.

Konsep Kalbar Inc, bukan konsep baru. Negara Singapura telah menarapkann konsep itu sejak lima tahun silam. Dimana setiap rakyat singapura diberi saham-saham oleh negara. Saham-saham tersebut bisa digadaikan atau bisa digunakan untuk kepentingan bisnis. Sementara itu induk raksasa bisnis Singapura, Temasek dengan anak perusahaannya seperti SingTel terus merambah dunia dengan jaringan telekomunikasinya. Keuntungannya tentu saja rakyat kebagian melalui lembaran saham-saham tadi. Demikian juga Jepang, malah negara-negara Eropa telah menerapkan sebuah sistem unik. Ialah apabila ada seorang warga mereka yang memiliki unit usaha di luar negeri seperti perkebunan dan turunannya, maka negaranya akan men-support penuh biayanya. Apalagi hasil produksinya diperuntukkan bagi negara mereka. Lalu mereka membungkus kepentingan rakyatnya itu dalam sebuah bingkai kerjasama antar negara.

Nah, dengan link raksasa seperti ini, apa yang dasar bagi rakyat Kalbar untuk tidak menerima Oesman Sapta sebagai pemimpin Kalbar di masa depan. Rasanya, tak ada lagi sosok pemimpin seperti itu kelak dikemudian hari. Wallahua’alam. (Safari ANS/MCO).

Tidak ada komentar: