Jumat, 19 Oktober 2007

Kalbar Dalam Bingkai Jurnalistik (Bagian 2)

MEMOTRET KALBAR DENGAN MATA HATI

Serba tak pasti. Roda kehidupan bergulir begitu saja, apa adanya. Mereka lebih suka terima upah daripada menjadi pemilik. Mereka tak mau pusing memikirkan bagaimana kelak meraka harus hidup. Mereka percaya suatu saat Tuhan pasti memberi petunjuk kepada mereka, bahwa kebenaran itu pasti akan tiba. Mereka percaya bahwa kezaliman dan kebathilan itu pasti berlalu. Dan kejahatan itu pasti akan runtuh.

Sebulan lebih kami menelusuri lekung-lekung kehidupan masyarakat Kalbar yang notabene-nya merupakan potret kehidupan rakyat pulau Kalimantan. Kebetulan tokoh masyarakat yang kami ikuti adalah sosok tokoh yang amat mengenal lekung-lekung kehidupan masyarakat Kalbar. Maklumlah ia memang asli putra yang lahir di Kalbar ini.

Kami dibawa ke berbagai pelosok kota, desa, kampung dan lekung-lekung hidup budaya orang Kalbar. Sesekali ia memberikan pengarahan kepada kami agar kami mengerti cara orang Kalbar hidup. Cara orang Kalbar berpikir. Dan cara orang Kalbar merasa. Dengan cara begitu kami dapat memotret kehidupan masyarakat Kalbar secara dalam, amat dalam.

Ia lebih suka, segala sesuatu mengalir apa adanya. Ia tidak suka rekayasa. Dan ia tidak suka ada kelompok lain merasa dirinya unggul. Ia berpandangan semua manusia itu sama, yang membedakannya hanyalah pandangan Tuhan terhadap setiap manusia. Jadi jangan pernah berpikir untuk sombong, karena kesombongan itu adalah kehancuran. Filosofi-filosofi itu nampaknya terserap kental dalam jati diri seorang meteor, Oesman Sapta.

Kami berjalan berjam-jam menapaki jejak kehidupan masyarakat Kalbar. Astagfirullah hal azim, kami tak menyangka kalau rakyat Kalbar yang merupakan bagian dari potret kehidupan Kalimantan secara keseluruhan, seperti ini. Kalbar menempati urutan ke 24 dari 32 provinsi yang terkaya di Indonesia. Berarti amat miskin.

Benak kami, ketika memotret Kalimantan dari Jakarta terhapus sudah. Transaksi ratusan triliyunan dari hasil hutan Kalimantan nampaknya tak mengucur secara baik ke bumi Kalbar. Jangan kan jauh ke pedalaman, pinggiran kota Pontianak saja, banyak yang belum terjamah oleh kasih sayang pemimpinnya.

Berkali-kali kami berkata, Indonesia sudah merdeka 62 tahun, tetapi rakyat Kalbar nampaknya harus pasrah dengan kenyataan hidup, karena Tuhan masih bermurah dengan mereka. Mereka dengan mudah bisa mengatasi persoalan hidup keseharian, hanya dengan kemurahan alam, walau mereka tidak bisa bangkit dan menjadi kaya dengan alamnya itu. Maklumlah, mereka minim ilmu pengolah kekayaan alam. Mereka tak punya modal, mereka tak punya jaringan yang memadai. Mereka minim keterampilan. Dan minim pengetahuan. Lebih dari 70% dari mereka, hidup di pedesaan tanpa pendidikan yang memadai.

Apalagi APBD Kalbar juga minim. Hanya Rp 1,1 triliyun saja. Walau secara grafik, angka APBD Kalbar menunjukkan kenaikan setahun demi setahun. Tetapi kenaikan itu tak sebanding dengan keperluan Kalbar untuk membangun. Wilayahnya yang amat luas. Apalagi biaya rutin pemerintah terlalu besar daripada anggaran pembangunan. Itu sama saja dengan kalimat, APBD hanya berfungsi sebagai peti kas pemerintah untuk membiayai roda pemerintahan saja.

Kita memahami, persoalan kecilnya APBD Kalbar bukan semata tumpulnya lobi pihak Pemda Kalbar, tetapi memang pemerintah pusat juga melihat tidak ada yang harus diprioritaskan di Kalbar bila dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Selah celah negosiasi anggaran seperti yang banyak dilakukan oleh kalangan bupati dan gubernur di Indonesia terkadang memang melelahkan. Apalagi kwalitas lobi hanya bermain pada tataran rendah. Tidak pada tataran ring satu. Padahal tataran lobi ring satu saja, belum tentu berhasil, karena meminta anggaran dari pemerintah pusat perlu kajian yang mendalam, sehingga pemerintah pusat tak ada alasan untuk menolak.

Karenanya tak perlu malu, bahwa rakyat Kalbar membutuhkan pemimpin yang memiliki lobi pada level ring satu dalam situasi politik apapun, dan kapanpun. Banyak orang yang memiliki tingkat lobi tinggi, tetapi hanya dalam satu musim. Ketika musim berganti dari bunga kuning menjadi bunga biru misalnya, banyak pelobi tak mampu menyesuaikan pergantian musim itu. Lalu, rakyatlah yang menjadi korban.

Karenanya, rakyat Kalbar tidak bisa lagi melihat sosok pemimpin mereka ke depan, dilihat dari kulit luar mereka saja. Karena di dunia ini tidak ada kecap nomor dua, semua nomor satu. Tak akan pernah terjadi dunia ini, calon pemimpin mengatakan dirinya apa adanya. Yang ada hanyalah sebuah halusinasi dan ilustrasi belaka.

Rakyat Kalbar harus melihat sosok pemimpin mereka dari lubuk hati yang paling dalam. Rekamlah suara hati calon pemimpin anda itu, di sana akan terasa detak, jerit dan tangis rakyat jelata yang telah direkam amat jelas oleh calon sang pemimpin. Karena hanya dengan kecerdasan mata hatilah, rakyat Kalbar dapat memilih pemimpinnya secara baik dan benar.

Rakyat Kalbar harus merenung, tawaddu’ dan istigfar, serta bertanya kepada Tuhan siapakah diantara putra terbaik Kalbar yang layak jadi pemimpin mereka. Yakinlah, Tuhan akan memberikan jawabannya melalui mata hati. Karena suara hati dan mata hati tidak bisa dibohongi oleh dan dengan cara apapun. Manusia manapun tak mampu mempengaruhi suara hati dan ketajaman mati hati. Karena suara hati dan mata hati tercipta sebagai microchip yang programnya hanya bisa dirubah dan disentuh oleh Tuhan sang pencipta.

Hanya kebanyakan, manusia lupa akan peran mata hati dan suara hati. Padahal disitulah sang pemimpin sejati tertulis secara jelas. Tertulis secara jelas nama seorang pemimpin, sang meteor pemberengus kebatilan dan penegak kebenaran, Oesman Sapta. (Safari ANS/MCO).

Tidak ada komentar: