Jumat, 19 Oktober 2007

KALBAR DALAM BINGKAI JURNALISTIK (bagian 1)

Memotret Kalimantan dari Jakarta


Kalimantan di mata kawan-kawan di Jakarta adalah sebuah pulau yang kemakmuran rakyatnya sudah dijamin oleh Tuhan. Tak ada yang sulit di Kalimantan, semuanya sudah terstruktur dengan baik. Dan Tuhan seperti sudah menakar hidup dan kehidupan makhluk di planet bumi ini.

Dulu, di era Suharto masih berkuasa dengan Golkarnya, setiap temu wartawan yang digelar Departemen Kehutanan di Jakarta, tidak pernah terpisahkan sosok pengusaha yang bernama Bos Hasan. Pengusaha yang selalu dekat dengan dunia perkayuan dan hutan. Bahkan ketika seorang menteri kehutanan ditanya wartawan perihal kebijakannya tentang HPH (Hak Pengusahaan Hutan), sang menteri selalu mengatakan, nanti akan saya tanyakan kepada Pak Bob Hasan.

Dalam hitungan perkalian, triliyun kubik kayu diberitakan di hampir seluruh media nasional dan international. Dan menghias halaman pertama surat kabar ibukota Jakarta. Setiap ganti menteri kehutanan baru dipercayakan oleh presiden, kalangan wartawan sudah menebak, pasti yang akan disodok pertama adalah masalah HPH. Pengusaha nakal, atau yang belum jelas urusannya, akan dijewer dengan menggunakan istilah, “peninjauan kembali posisi HPH”

Sang pengusaha HPH pasti sibuk, ketika sang menteri sudah mulai melancarkan serangan pertama. Bangunan keren nan menjulang berselebahan langsung dengan gedung MPR/DPR RI, membuat kesan Departemen Kehutanan menjadi primadona ketika itu. Bahkan di era Pak Harto, komplek perkantoran yang dikenal dengan nama Manggala Wanabhakti itu, tempat lingkungan menteri kehutanan berkantor, terkesan elite dan mewah.

Di gedung inilah hampir seluruh aktivitas dunia hutan berjalan. Mereka datang dan pergi sekedar untuk mendapat sedikit tentang rezeki dunia kayu yang sebagian terbesar berasal dari Kalimantan.

Jangankan hasil hutannya, dana reboisasi yang dipungut hanya sekian persen saja oleh pemerintah pusat melalui sebuah lembaga “persetujuan” saja, sudah bernilai ratusan triliyun rupiah. Apatah lagi nilai transaksi hasil hutan, seperti kayu, rotan dan lainnya. Wow, pastilah capai angka ribuan triliyun rupiah. Namun tak ada satu pun instansi pemerintah yang mau mengeluarkan angka resmi transaksi penjualan hasil hutan di Kalimantan. Kalangan jurnalistik hanya melihat, angka-angka yang dikeluarkan instansi manapun di Jakarta, pastilah bohong.

Dalam pertemuan demi pertemuan wartawan dengan pejabat di Jakarta tentang hutan di Kalimantan selama ini, hanyalah sebuah ilustrasi agar wartawan terjebak dalam sebuah persepsi, bahwa semuanya berjalan sesuai rel dan aturan main. Pemerintah Pak Harto ketika itu begitu pintar dan rapi soal membuat persepsi di benak wartawan, sehingga kuli tinta pun tak berdaya melawan kehendak sang penguasa.

Tak terbayangkan oleh kami ketika suatu saat tiba-tiba muncul sebuah nama pengusaha yang berasal dari Singkawan ketika itu. Ia tiba-tiba bermain di ring satu. Teman-teman mencuri berita bahwa ada pengusaha baru, ada konglomerat baru bernama Prajogo Pangestu. Raja kayu yang menakutkan pengusaha lainnya. Kendati diam-diam, rekan-rekan wartawan mampu merekam, kemunculan pengusaha yang kini beken dengan bendara usahanya, Barito Pacific Timber. Group usaha ini pun terus meroket naik, bak busur panah yang dilepaskan ke udara.

Sejak itu, Prajogo Pangestu telah ditempatkan oleh kawan-kawan sejajar dengan konglomerat Indonesia lainnya. Ia mulai disejajarkan dengan bos Astra Group yang kaya dengan industri otomotifnya ketika itu, William Suradjaja. Ia sejajar dengan Sudono Salim dengan group Indocementnya, dan lainnya.

Bahkan ketika Pak Harto mengundang 25 konglemarat Indonesia ke Tapos, komplek peternakan di wilayah Bogor, Jawa Barat. Pengusaha kayu yang berasal dari Kalimantan ini telah berjejar menghias layar kaca dan selalu menjadi berita halaman pertama surat kabar Jakarta.

Kalangan wartawan, sering dibawa pengusaha kayu untuk berkunjung ke Kalimantan. Tetapi ruang gerak memang terbatas ketika itu. Selain mengikuti jadwal yang padat, juga fasilitas yang digunakan juga amat terbatas. Paling banter wartawan hanya bisa ikut nimbrung dengan sang pengusaha kayu atau menteri kehutanan naik helikopter. Dari udara terlihat betapa upaya-upaya penghijauan berjalan sesuai dengan laporan mereka di DPR RI.

Kala itu, tak terpotret dengan jelas kehidupan rakyat Kalimantan yang sesungguhnya. Tak terpikir oleh kami sedikit pun, bahwa rakyat Kalimantan ketika itu sudah tergadai. Hak hulayat mereka atas hutan tak jelas, apalagi tanah. Padahal mereka memiliki tatanan adat yang menurut kami sudah tertata rapi. Mereka dalam benak kami saat ini, memiliki tatanan kehidupan yang terstruktur secara bathin, tetapi terlalu pasrah secara fisik.

Mereka mudah menerima apa adanya, karena kesejahteraan sejati bagi orang Kalimantan bukanlah kemewahan kehidupan yang bergelimang harta. Tinggal di sebuah rumah gubuk sekali pun, membuat mereka bahagia bersama keluarganya. Ketika harta kekayaan mereka diangkut dan diperjual belikan dengan takaran nilai ratusan triliyun tadi, mereka sudah bersyukur kepada Tuhan manakala mereka sudah mendapatkan upah kerja dari proyek itu.

Mereka tidak tau, kayu yang dihasilkan dari daerah mereka terpajang mewah di planet bumi ini. Mereka tak tau betapa orang-orang Eropa memajang hasil hutan Kalimantan sebagai sebuah produk bergengsi. Betapa bangganya orang-orang bule memperkenalkan produk rumahnya tangga mereka yang terbuat dari kayu atau hasil hutan Kalimantan. Dan mereka membelinya dengan harga mahal. Maklumlah, di negara mereka tak ada lagi hutan yang bisa dibabat. Yang ada hanya di Kalimantan. Namun, sebentar lagi rakyat Kalimantan akan tau dan paham atas semua itu. (Safari ANS/MCO).

Tidak ada komentar: